“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan,”
Setelah menonton film
dokumentasi Gie, mungkin, saya pribadi tidak akan pernah memahami seorang Gie,
namun saya rasa mengenal dan sekedar mengetahui sosok Gie bisa dikatakan cukup.
Pemahaman dan pandangannya yang radikal, dan juga kontroversial memang seakan
akan sulit mengerti. Untuk apa, seorang Gie, keturunan Cina –yang merupakan
kaum minoritas, memperjuangkan hal hal yang terkadang melampaui batas pemikiran
mahasiswa pada umumnya? Belum lagi fakta bahwa semasa hidupnya, beliau hidup di
era demokrasi terpimpin, dimana kekuasaan “pemerintah” begitu besar.
Mengemukakan hal hal yang begitu kritis dan seakan akan menjatuhkan
pemerintahan bukanlah sebuah hal yang umum. Kebanyakan golongan memilih untuk
bersikap apatis, daripada ditangkap dan diasingkan, meskipun mereka pun tidak
setuju dengan jalannya pemerintahan yang sewenang wenang. Namun, Soe Hok Gie
memiliki jalan pikirnya sendiri.
“Guru
yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu
benar. Dan murid bukan kerbau.”
Pribadi Gie yang
dapat kita ketahui dari filmnya sendiri, pribadi yang idealis sudah terlihat
dari sejak ia masih duduk di bangku sekolah. Lucu, melihat seorang siswa begitu
keukeuh akan pendapatnya dan berdebat
dengan sang guru hanya karena masalah sepele, Chairil Anwar itu penulis atau
hanya penerjemah. Gie muda yang begitu keukeuh
sampai kehilangan 3 poin dari nilai ulangannya hanya karena ia dianggap tidak
sopan terhadap guru. Namun, dengan berani dan gamblang pun ia katakan bahwa
guru bukanlah dewa yang selalu benar, dan murid bukanlah kerbau. Guru juga
harus bisa menerima kritik dari murid muridnya. Ketika sahabatnya heran akan
tindakan Gie yang kalau dipikir pikir sedikit nyeleneh, Gie kecil pun menjawab
bahwa kehidupan bebas yang mereka nikmati sekarang adalah hasil perlawanan para
pejuang bangsa. Cara pemikiran Gie unik dan jauh dari pemikiran murid murid
lainnya. Namun walaupun dikatakan tidak sopan, pemikirannya yang berani
akhirnya menjadi suatu ciri khas seorang sosok Gie, yang berdiri teguh pada
nilai nilai kebenaran dan kebenciannya akan ketidakadilan.
“Aku bersamamu,
orang orang Malang.”
Gie bukanlah
sosok yang menutup mata terhadap lingkungan di sekitarnya. Ketika ia menemui
seorang pemakan kulit mangga di pinggir jalan, tanpa ragu ia pun memberikan
uang yang ia punya, hanya demi membantu orang tersebut. Gie yang sadar akan
kondisi pemerintahan pada masa itu pun menyatakan betapa ketidakadilan merajalela.
Ketika rakyat mengais-ngais sampah hanya untuk mengisi perut, para pemimpin
Negara sedang asyik berfoya foya dengan uang yang bukan hak mereka.
“Lebih
baik mahasiswa yang bergerak, maka lahirlah sang demontsran.”
Semasa kuliahnya,
pribadi Gie yang kritis seakan akan belum mendapatkan wadah yang tepat untuk
berkembang. Kehidupan berorganisasi pada saat itu masih berbau SARA, sesuatu
yang Gie hindari. Dari antara begitu banyaknya ajakan untuk ikut dalam satu
organisasi tertentu, organisasi yang Gie jalankan adalah MAPALA, sesuatu yang
memang menarik minatnya. Namun Gie yang dikenal sebagai sosok yang intelek
banyak membagikan pandangannya akan kehidupan politik masa kini dalam berbagai
diskusi, ketika ia menyatakan bahwa walaupun muda, harus tetap berani menentang
ketidak adilan. “Ketika Hitler mulai
membuas maka kelompok Inge School
berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata
"tidak". Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang
pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa
mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang
pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi
apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.” Gie tetap aktif
menulis dan tetap pada pendiriannya, menentang ketidakadilan. Tulisan Gie
dengan ciri khasnya, yang berani, gamblang, jujur, dan penuh kritik, namun
tidak membabi buta karena tulisannya berdasarkan analisis terlebih dahulu, pun
pada akhirnya banyak dikenal orang sehingga pada akhirnya banyak mewarnai kolom
kolom berita harian pada era itu.Tidak hanya aktif dan menulis, Gie juga ikut
aktif dalam berbagai demonstrasi yang banyak dilakukan oleh mahasiswa pada masa
itu untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah.
“Di
Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama
menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya”
Ketika banyak
dari teman teman aktifisnya yang tergiur dengan kedudukan di parlemen dan semua
harta harta tawaran pemerintah, Gie tidak tergiur dan tetap pada semangatnya
untuk memperjuangkan keadilan. Sosok yang begitu teguh akan pendiriannya
sendiri, dan juga sosok yang begitu benci terhadap ketidakadilan dan begitu
kritisnya menyatakan pendapatnya mengenai pemerintahan. Keberanian Soe dalam
bertindak, berkata, dan menulis memang kontroversial. Di satu sisi, keberanian
dan ketajaman tulisannya menuai banyak pujian karena ia menyatakan dengan
gamblang semua yang ia lihat dari sudut pandangnya. Namun di satu sisi,
tulisannya yang terlalu tajam itu pun menuai banyak kritik dan ia pun pada
akhirnya memiliki musuh. Ketika pada akhirnya tulisannya menuai banyak ancaman,
Gie pun menyatakan bahwa ia mulai merasa sendiri, yang digambarkan dengan jelas
dalam bagian akhir dari film Gie dimana ia pun akhirnya kembali ke lembah
Mandalawangi.
Mungkin sosok
seperti Soe Hok Gie bukanlah sosok yang akan mudah kita temukan dewasa ini.
Seorang sosok intelektual, yang sudah menelan berbagai buku filsuf, buku
sastra, dan buku referensi semenjak remaja, yang memiliki semangat yang
terarah. Bukan sekedar tong kosong, namun sesuatu yang berbobot dan
berlandaskan pada nilai nilai kebenaran. Kondisi bangsa kita sekarang ini pun
tidak lebih baik dari era 1960an, dimana korupsi dan kesewenang wenangan masih
berjamur di parlemen. Semangat dan keberanian, serta kejujuran beliau merupakan
kualitas diri yang sekiranya masih dibutuhkan hingga saat ini, tidak hanya pada
era 1960an.
Sosok Soe Hok Gie
bukan hanya sebagai seorang demonstran, namun semangatnya dan keberaniannya
seakan akan bersuara dengan lantang mengenai keadilan. Tidak hanya adu otot
dengan aparat pemerintahan saat itu, sosok Soe Hok Gie juga adu otak.
Menyatakan sudut pandangnya dengan analisis yang sudah ia lakukan terlebih dahulu
dan bukan hanya omongan belaka yang tidak berdasar. Kegigihannya dalam
memperjuangkan keadilan, dan keteguhannya pada pendirian seakan akan menampar
mental apatis bangsa Indonesia dewasa ini.
No comments:
Post a Comment